Rabu, 19 Oktober 2011

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra merupakan cermin kehidupan suatu masyarakat. Sastra juga menjadi simbol kemajuan peradaban suatu bangsa. Karya sastra biasanya menampilkan suatu gambaran kehidupan yang berdasarkan fakta sosial dan cultural. Karya sastra pada dasarnya bukan hanya sebagai hasil tiruan realitas kehidupan tetapi merupakan penafsiran-penafsiran terhadap realitas yang terjadi di masyarakat. Karya sastra adalah suatu cara mengungkapkan gagasan, ide, dan pemikiran dengan gambaran-gambaran pengalaman. Karya sastra merupakan hasil kegiatan kreatif, imajinatif, dan artistik. Sastra sebagai kegiatan imajinatif menyuguhkan pengalaman batin yang pernah dialami pengarang kepada penikmat karya sastra. Karya sastra lahir sebagai perpaduan antara hasil renungan, pemikiran, dan perasaan pengarang. Keberadaan karya sastra yang dihasilkan seorang pengarang di tengah-tengah masyarakat menjadi sesuatu yang sangat diharapkan karena karya sastra merupakan cermin kehidupan yang memantulkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, hal tersebut yang membedakan karya sastra dengan tulisan biasa. Karya sastra terkandung nilai yang perlu digali untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Karya sastra dan masyarakat tidak dapat dipisahkan (http://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/24/pendidikan-nilai-nilai-yang-terkandung-dalam-roman-%e2%80%9cazab-dan-sengsara%e2%80%9d-karya-merari-siregar/). Karya sastra merupakan hasil renungan manusia tentang kehidupan yang keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari kehidupan itu sendiri. Peristiwa-peristiwa yang ada dalam kehidupan nyata menjadi dasar olahan pengarang. Objek yang menjadi dasar olahan tersebut dituangkan ke dalam karya sastra yang hasilnya memberi dampak sendiri bagi penikmatnya. Dampak tersebut memperkaya pengalaman. Dengan kata lain, apa pun yang ditemukan penikmat dalam karya sastra yang dibacanya tentang masalah kehidupan, seperti maut, cinta, kebahagiaan, keadilan penderitaan, baik dan buruk, semua itu berkaitan dengan pengalaman batinnya. Objek sastra adalah manusia dan kehidupannya Oleh karena itu, karya sastra merupakan suatu sarana untuk mengungkapkan nilai-nilai yang dianggap lebih tinggi serta menafsirkan makna dan hakikat hidup. Jadi, karya sastra sebagai karya kreatif selalu menceritakan pengalaman hidup manusia yang sangat kompleks. Kekomplekan tersebut diakibatkan oleh hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam sekitarnya, dan manusia dengan Tuhannya. Hubungan-hubungan tersebut menimbulkan konflik yang menyebabkan kepincangan dan penyelewengan dalam kehidupan. Perpaduan keindahan dan realitas kehidupan yang terkandung dalam karya sastra dapat menggugah dan mempengaruhi jiwa seseorang. Seorang pengarang dikatakan berhasil menciptakan karya sastra yang baik apabila dapat mempengaruhi perasaan seseorang atau masyarakat yang mengkomsumsi karya sastra tersebut. Dengan demikian, keberhasilan karya sastra bukan terletak pada keberhasilan seorang pengarang untuk menciptakan karya sastra tersebut, tetapi keberhasilannya terlihat dan tergambar pada pengaruhnya terhadap orang atau masyarakat yang mengkomsumsinya, secara tidak langsung masyarakatlah yang menentukan mana karya sastra yang bermutu dan mana yang kurang bermutu. Seorang pengarang seharusnya memiliki kebebasan ekspresi dalam berkarya, dengan adanya kebebasan berekspresi tanpa ikatan-ikatan seperti pada pengarang-pengarang lama, maka akan lahir dengan sendirinya keberanian untuk menyatakan kejujuran. Seorang pengarang dapat mewakili perasaan dan keinginan dari masyarakatnya atau lingkungannya melalui ketajaman pena yang dimilikinya. Novel sebagai salah satu bentuk dari karya sastra tidak akan lepas dari kehidupan masyarakat tempat karya sastra itu lahir. Novel merupakan cerita fiksi dalam bentuk tulisan atau kata-kata yang dibangun oleh unsur instrinsik dan ekstrinsik. Karya sastra (novel) biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Bersama karyanya, si pengarang berusaha semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita kehidupan sehingga pembaca seakan berhadapan langsung dengan kenyataan. Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Novel dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu karya serius dan karya hiburan. Pendapat demikian memang benar tetapi juga ada kelanjutannya. Tidak semua novel yang mampu memberikan hiburan, bisa disebut sebagai karya sastra serius. Novel serius bukan saja dituntut untuk menjadi karya yang indah dan menarik, akan tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Novel serius harus menarik, menghibur dan mendatangkan rasa kepuasan setelah orang membacanya. Novel yang baik dibaca untuk penyempurnaan diri. Novel yang baik adalah novel yang isinya dapat memanusiakan para pembacanya. Sebaliknya novel hiburan hanya dibaca untuk kepentingan santai belaka. Novel tersebur hanya memberikan keasyikan pada pembacanya untuk menyelesaikannya. Tradisi novel hiburan terikat dengan pola – pola. Dapat dikatakan bahwa novel serius punya fungsi sosial, sedang novel hiburan hanya berfungsi personal. Novel berfungsi sosial lantaran novel yang baik ikut membina orang atau masyarakat menjadi manusia seutuhnya. Sedang novel hiburan tidak memperdulikan apakah cerita yang dihidangkan tidak membina manusia atau tidak, yang penting adalah bahwa novel memikat dan orang mau cepat–cepat membacanya. Di abat ke 21 ini banyak pengarang atua sastrawan yang menyajiakan karya-karya sastra (novel) yang berbau religi, paternalistik dan feminisme. Perbincangan di media ataupun di masyarakat penikmat karya sastra tentang novel religi sangat signifikan utamanya karya sastra (novel) yang menceritakan tentang sosial budaya dan dinamika kehidupan pondok pesantren. Perbincangan diseputar pesantren setidaknya sampai saat ini, tetap merupakan topik yang menarik bagi sebagian kalangan. Hal ini paling tidak disebabkan oleh : Pertama, kemunculan pesantren dianggap sebagai perwujudan dari strategi umat islam untuk “menyembunyikan” dirinya dari penetrasi dan kolonialisasi barat (Belanda). Kedua, pesantren merupakan model pendidikan yang pertama di nusantara, kemunculannya lebih merupakan pengembangan pengajaran agama islam. Ketiga, sebagai langkah intensifikasi dan efektifitas penerapan pengajaran agama islam, setidaknya dapat melahirkan banyak hal baik menyangkut intelektualisme, moralisme dan sekian banyak hal positif lainnya. Kehadiran novel yang mengambil latar peristiwa pesantren yang juga ditulis oleh seorang santri setidaknya, menjadi sumbangan berharga dalam meramaikan wacana seputar pesantren. Satu hal yang menjadi nilai lebih dari novel “Dzikir-Dzikir Cinta” karya Anam Khoirul Anam. Bahwa ada keberanian yang ditunjukkan oleh pengarang untuk mengimformasikan secara jujur apa yang benar terjadi di dunia pesantren. Dalam novel ini, suatu bidikan yang mendalam terhadap pesantren mendapat perhatian yang dominan. Apa lagi kalau bukan “interaksi-eksotis” antara santriwan dengan santriwati yang pada dasarnya ditabukan dalam pesantren. Menariknya interaksi itu tidak semata terjadi antara santri dengan santri melainkan Kiai dengan santrinya. Kegiatan interaksi tersebut di tunjukkan oleh kehadiran Kiai Latif yang ingin menyunting santriwatinya, Fatimah, yang tidak lain adalah puteri seorang Kiai ternama juga, Kiai Mahfud. Di ceritakan dalam novel ini konflik yang dibangun adalah wacana otoritas Kiai yang kemudian melahirkan konsep dengan kenyataan rasa cinta yang harus menampik otoritas itu. Akibatnya ; Fatimah didera delima yang teramat akut antara keharusan menerima lamaran Kiainya walau dihatinya tak pernah ada cinta, dan kejujuran untuk menolak meski penolakannya melahirkan rasa ketakutan tidak mendapat barokah. Tidak terlepas dari perbincanagn pesantren mengenai, tampilnya pesantren dalam percaturan perpolitikan, hal tersebut merupakan bagian pembahasan dalam novel “Dzikir-Dzikir Cinta” tersebut, seperti yang terjadi pada Kiai Aziz dan Gus Mu’ali “Sebenarnya Gus Mu’ali menolak ketika dicalonkan. Akan tetapi, guna menghargai apa yang menjadi keinginan warga, akhirnya ia menyanggupi semua itu. Toh,tidak ada salahnya menjadi seorang kepala daerah, pikirnya. Sunggguh budaya yang masih tabu dan banyak kalangan yang enggan untuk mengankat dan membahas lebih mendetail, dengan alasan takut terkena balak. Budaya-budaya yang masih tabu seperti hal tersebuat, menjadi permasalahan bagi penulis. Bertolak dari uraian diatas, maka pembahasan ini perlu dilakukan. Untuk memberikan gambaran umum tentang apa yang akan dibahas dalama penelitian ini, maka penulis membatasinya dengan judul “ Analisis nilai-nilai budaya pesantren dalam novel “Dzikir-Dzikir Cinta” karya Anam Khoirul Anam. 1.2 Permasalahan 1.2.1 Rumusan Masalah Berdasarkan topik masalah dan uraian di atas, maka dapat dirumuskan suatu masalah dalam bentuk kalimat Tanya berikut ini. Bagaimana nilai-nilai budaya pesantren dalam novel “Dzikir-Dzikir Cinta” karya Anam Khoirul Anam? 1.2.2 Penegasan Konsep Vareabel Untuk menghindari kesalahan persepsi dan perbedaan konsep serta memperjelas konsep vareabel yang terdapat dalam judul skripsi ini, maka perlu adanya penegasan konsep vareabel sebagai batasan operasionalnya. Vareabel dalam penelitian ini terdiri atas satu vareabel yakni nilai-nilai budaya pesantren dalam novel “Dzikir-Dzikir Cinta” karya Anam Khoirul Anam. Yang dimaksud dengan nilai-nilai budaya pesantren dalam novel “Dzikir-Dzikir Cinta” karya Anam Khoirul Anam adalah segala bentuk budaya yang berkembang di pesantren, yakni budaya Kiai, santri dan segala kegiatan masyarakat muslim pesantren, yang terdapat dalam novel ““Dzikir-Dzikir Cinta”” kaya Anam Khoirul Anam. 1.2.3 Deskripsi Masalah Budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistemologis dari system pengetahuan masyarakatnya (Kuntowijoyo, 2006). Taylor dalam (Najid, 2009:7), menyatakan bahwa budaya merupakan keutuhan yang komplek yang melibatkan segenap pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hokum, tradisi, dan semua kemampuan serta kebiasaan apapun yang dilakukan dalam kapasitasnya selaku anggota suatu kelompok masyarakat. Budaya pesantren dapat diartikan sebagai segala pola, tingkah laku, dan karya masyarakat pesantren hal ini meliputi Kiai, santri dan ustadz. Adapun nilai-nilai budaya pesantren dapat disajikan sebagai berikut: Pertama. Budaya paternalistik, dimana figur pimpinan (Kiai) dijadikan sebagai panutan tunggal tanpa reserve, terbawa dalam pengelolaan pendidikan dimana anak didik (santri) akan merasa sungkan, dan bahkan cenderung kurang berani dalam mengemukakan ide-ide dan pendapatnya sehingga dapat menghambat proses kreatifitas mereka (http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/persembahan-buat-guru/%E2%80%9Clife-skill-untuk-meningkatkan-mutu-pendidikan-pesantren-sebagai-bagian-dari-usaha-pengembangan-sumber-daya-manusia-di-kabupaten-bangkalan%E2%80%9D/). Kedua. Budaya “interaksi-eksotis” antara santriwan dengan santriwati yang pada dasarnya ditabukan. Interaksi tersebut tidak semata terjadi antara santri dengan santri, melainkan Kiai dengan santri Anwar dalam (Anam, 2008:17). Ketiga. Budaya politik. Masih hangat di panca indra pendengaran kita perbincangan politik pesantren atau Kiai berpolitik, pro-kontra pandangan masyrakat trehadap keikut sertaan Kiai atau pesantren dalam perpolitikan, namun hal demikian benar terjadi. Keempat, Modeling. Modeling dalam ajaran Islam bisa diidentikkan dengan uswatun hasanah atau sunnah hasanah yakni contoh yang ideal yang selayaknya atau seharusnya diikuti dalam komunitas ini. Tidak menyimpang dari ajaran dasar Islam, paternalistik dalam dunia pesantren agaknya lebih diartikan sebagai tasyabbuh (http://citraedukasi.blogspot.com/2007/12/sistem-nilai-budaya-pesantren.html). Kelima, Cultural resistance. Mempertahankan budaya dan tetap bersandar pada ajaran dasar Islam adalah budaya pesantren yang sudah berkembang berabad-abad. Sikap ini tidak lain merupakan konsekuensi logis dari paternalistik. Keenam, Budaya keilmuan yang tinggi. Dunia pesantren senantiasa identik dengan dunia ilmu. Pendidikan sehari semalam penuh dalam dunia pesantren dengan batas waktu yang relatif, serta hubungan guru-murid yang tidak pernah putus adalah implementasi dari ajaran Nabi yang menekankan keharusan mencari ilmu dari bayi sampai mati (http://citraedukasi.blogspot.com/2007/12/sistem-nilai-budaya-pesantren.html). Ketujuh, Budaya Dzikir memiliki makna “mengingat nikmat Allah SWT atau menyebut lafadh Allah SWT, bertahlil, bertauhid, bertasbih, ber-taqdis, bahkan termasuk membaca al-Qur’an dan membaca doa-doa (http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/5-zikir-suatu-tradisi-pesantren-menuju-terapeutik-depresif.pdf). Kedelapan, Budaya magis dilingkungan pesantren, sebagaimana nampak dalam perkembangan buku-buku mujarobat yang berisi doa-doa segala macam keperluan, seperti menolak penyakit, menangkap pencuri, mendekatkan kekasih, menghitung jodoh, ngerogo sukmo, dan sebagainya (Kuntowijoyo, 2006: 59). Kesembilan, Pencak strom merupakan bagian dari budaya pesantren, lebih jelasnya adalah pendekar silat (Kuntowijoyo, 2006: 59). Selanjutnya, novel merupakan sebuah karya sastra yang merupakan cermin sosial. Sastra (novel) menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan adalah kenyataan budaya. Sastra tidak berangkat dan ketiadaan dudaya (Najid: 2009). Beberapa bentuk novel dapat disajikan sebagai berikut: Pertama. Novel popular, novel popular adalah novel yang populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Novel popular lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata manyampaikan cerita Stanton dalam (Nurgiantoro, 2004: 18-19). Kedua, Novel serius. Memberi pengalaman dan permasalahan kehidupan di soroti dan di ungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel serius di samping memberikan hiburan, juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak, mengajaknya untuk meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan. Membaca novel serius, jika kita ingin memahaminya dengan baik, diperlukan daya konsentrasi yang tinggi dan disertai kemauan untuk itu (Nurgiantoro, 2004: 18-19). Ketiga, Novel sejarah yang secara sengaja menggunakan peristiwa sejarah sebagai bahan, mempunyai ikatan kepada historical truth, sekalipun kebenaran sejarah itu juga bersifat relatif (Kuntowijoyo, 2006: 178) Keempat, Novel sosial. Seperti halnya novel sejarah, novel sosial dapat menggunakan peristiwa sejarah kontemporer sebagi bahan. Peristiwa sejarah kontemporer itu dijaman pengarangnya di anggap sebagai peristiwa sosial, tetapi bagi generasi sesudahnya dapat di angkat sebagai peristiwa sejarah. Novel sosial seringkali mengangkat peristiwa dan kritikan-kritikan terhadap dinamika sosial (Kuntowijoyo, 2006 : 181). 1.2.4 Pembatasan Masalah Mengingat luasnya cakupan masalah yang terdapat dalam deskripsi masalah, maka masalah perlu dibatasi agar pembahasan lebih teliti dan seksama. Pembatasan masalah ini juga didasarkan pada kepentingan penelitian dengan mengambil teori yang di anggap sesuai dengan topik pembahasan. Nilai-nilai budaya pesantren dalam novel “Dzikir-Dzikir Cinta” di batasi pada unsur budaya: 1. Budaya paternalistik pesantren, 2. Budaya interaksi-eksotis, dan 3. Budaya politik pesantren. Sedangkan novel yang dikaji dibatasi pada jenis novel serius, yaitu: Novel dengan judul “Dzikir-Dzikir Cinta” karya Anam Khoirul Anam. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah diperolehnya deskripsi yang objektif tentang, nilai-nilai budaya pesantren pada novel “Dzikir-Dzikir Cinta” karya Anam Khoirul Anam. 1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah diperolehnya deskripsi yang objektif tentang nilai-nilai budaya pesantren meliputi: budaya paternalistik pesantren, budaya interaksi-eksotik, dan culture political pada novel “Dzikir-Dzikir Cinta” karya Anam Khoirul Anam. 1.4 Asumsi Sebagai hasil sebuah kontemplasi (perenungan) yang mendalam, novel merupakan abstraksi pemikiran berdasarkan realita kehidupan onjektif yang disaksikan, dialami, dan dirasakan seorang seniman atau nvelis dengan segala pemahaman pribadinya. Berbeda dengan sastra puisi yang lebih eksklusif , maka novel lebih memberikan ruang apresiasi yang cukup luas kepada pembaca karena penggunaan bahasa yang relatif umum dan mudah dicerna. Novel sebagai bagian dari karya sastra tidak terlepas dari sifatnya yang khas, indah dan imajinaif (Basir, 2009:189). Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif non fiksi, misalnya surat, biografi, kronik, atau sejarah. Jadi, novel berkembang dari dukumen-dukumen, dan secara stilistik menekankan pentingnya detil dan bersifat mimesis. Novel lebih mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang lebih mendalam (Nurgiantoro, 2005: 15). 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini berguna untuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yaitu, sebagai bahan masukan atau rujukan dalam upaya pengembangan materi pembelajaran prosa fiksi khususnya karya sastra dalam bentuk novel. 1.5.2 Manfaat Praktis 1. Unversitas Madura Sebagai bahan untuk menambah perbendaharaan perpustakaan Universitas Madura di bidang kesusastraan. Dan sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian. 2. Masyarakat Untuk meningkatakan daya paresiasi masyarakat terhadap karya sastra. Dan untuk mempermudah pembaca atau penikmat sastra dalam memahami nilai-nilai budaya dalam novel “Dzikir-Dzikir Cinta” karya Anam Khoirul Anam. 3. Pesantren Sebagai bahan introspeksi diri dan pengembangan nilai-nilai budaya pesantren melalui karya sastra atau novel. 4. Peneliti Sebagai wadah dalam rangka mengembangkan ilmu yang telah diperolehnya hususnya dibidang seni dan sastra, serta untuk menambah wawasan tentang sastra dan budaya pesantren. 1.6 Alasan Pemilihan Judul 1.6.1 Alasan Objektif Keinginan peneliti melakukan penelitian terhadap nilai-nilai budaya pesantren dalam novel “Dzikir-Dzikir Cinta” karya Anam Khoirul Anam sebagai berikut. Nilai-nilai budaya pesantren mempunyai peranan penting dalam proses perkembangan dan kemajuan peradaban suatu bangsa, karena budaya pesantren merupakan bagian dari budaya-budaya bangsa dan agama. Karya sastra (novel) adalah cermin kehidupan sosial, kecendrungan novel mengangkat realisme sosial. oleh karena itu nilai-nilai budaya, tradisi dan dinamika kehidupan sosial dapat kita kaji melalui sastra (novel). novel “Dzikir-Dzikir Cinta” karya Anam Khoirul Anam banyak mengandung budaya-budaya pesantren, utamanya budaya-budaya paternalistik, interaksi-eksotik, dan politik. 1.6.2 Alasan Subjektif Menurut penulis judul ini belum ada yang meneliti. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti dan membahas bagaimana nilai-nilai budaya pesantren dalam novel “Dzikir-Dzikir Cinta” karya Anam Khoirul Anam. Penulis ingin mengembangkan pemikiran dan pengalaman mengenai kebudayaan pesantren serta pengetahuan pada karya sastra jenis novel dengan judul “Dzikir-Dzikir Cinta” karya Anam Khoirul Anam. 1.7 Batasan Istilah Dalam Judul Guna menghindari kesalah pahaman, istilah dalam judul yang digunakan dalam penelitian ini perlu ditegaskan. Adapun pengertian istilah dimaksud adalah berikut ini: 1. Nilai-Nilai Budaya Pesantren Kebudayaan merupakan internalisasi dan manifestasi praktik suatu tatanan nilai atau norma kemasyarakatan Greenblatt dalam (Najid, 2009:7). Adpun kebudayaan pesantren adalah segala tatanan nilai atau norma yang ditimbulkan oleh komponen-komponen pesantren, Kiai, santri, kitab-kitab dan tempat ibadah (Masjid). 2. Novel Novel merupakan salah satu “Genre” karya yang mencoba mengangkat persoalan “Humansisti” tenteng hidup dan kehidupan manusia dengan segala persoalan serta romantikanya Basir dalam (Jurnal sastra dan seni, 2009:189). 1.8 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah novel “Dzikir-dzikir Cinta” karya Anam Khoirul Anam dengan topik kajian tentang dudaya pesantren yang terdapat dalam novel tersebut meliputi, budaya paternalistik, budaya interaksi-eksotik dan budaya politik pesantren. Hal tersebut dikaji untuk memenuhi keberadaan budaya-budaya pesantren saat ini. 1.9 Sistematika Penulisan Komposisi skripsi ini dapat dipilah menjadi enam bagian yaitu, pendahuluan, kajian pustaka, metodologi penelitian, analisis data , dan penutup. Bab I pendahuluan berfungsi sebagai pengantar. Melalui bab ini diharapkan pembaca mengetahui garis-garis besar isi skripsi. Karena itu yang dibahas dalam skripsi ini meliputi latar belakang masalah, permasalahan yang terdiri dari rumusan masalah, penegasan konsep vareabel, deskripsi masalah, dan batasan masalah; tujuan penelitian; metode penelitian; pengertian istilah dalam judul dan sistematika penulisan. Bab II kajian pustaka berfungsi sebagai landasan teori dalam usaha mendeskripsikan secara objektif tujuan yang hendak dicapai. Karena itu dalam baba ini dipandang perlu untuk mrngkaji tentang,(1) kajian tentang budaya(a) pengertian budaya, (b)cirri-ciri budaya, (c) unsur-unsur budaya.(d) nilai-nilai budaya. (2). Kejian tentang pesantren yang membahas (a) pengertian pesantren (b) sejarah pesantren,(c) fungsi dan peranan pesantren. (5) kajian tentang budaya pesantren yang membahas (a) budaya paternalistik pesantren (c) budaya interaksi-eksorik (d) culture political. Bab III membahas metodologi penelitian yang digunakan dengan menguraikan tentang teknik penentuan objek penelitian, pengumpulan atau penggalian data, dan teknik analisis data. Penggunaan metode ini diharapkan mendapatkan deskripsi tentang unsure-unsur budaya pesantren, budaya paternalistik, budaya interaksi eksotik, dan culture political dalam novel “Dzikir-Dzikir Cinta” karya Anam Khoirul Anam. Bab IV menguraikan tentang analisis data yang membicarakan langkah-langkah analisis data melalui table penjaring data untuk mengetahui nilai-nilai budaya pesantren dalam novel “Dzikir-Dzikir Cinta” karya Anam Khoirul Anam. Bab V dikemukakan mengenai kesimpulan dari semua bahan yang diuraikan penulis pada bab-bab sebelumnya dan yang terakhir yaitu kata penutup. Pada penulisan skripsi ini dicantumkan juga daftar pustaka dan lampiran.